Jumat, 07 Agustus 2009

Dongeng Tentang Lana di Osaka

(bandara Kaitak Hongkong bulan Juli 1997)

Di sudut sebuah toko buku bandara Kaitak Hongkong, berdiri dalam keheningan lalang orang-orang kelana yang transit di sana, sebuah sapa bening merompak keasyikanku.

“Kamu pasti orang Indonesia!”

Seorang gadis cantik berkulit putih, berambut lurus panjang sebahu bertubuh ramping padat berlekuk indah seketika sudah ada di sampingku, menatapku dengan senyum yang nakal.

“Sorry ?” jawabku dengan aksen Singlish yang kutiru dari Cin Feng sahabatku yang bekerja di Itochu Singapura.Kucoba untuk membuatnya malu.Gadis itu tersenyum semakin lebar.

“You must be Indonesian!” katanya meniruku dengan aksen singlish.

“How can you so sure?”aku tetap menggodanya

“Karena dari semua pria di sini hanya kamu sendiri yang membaca majalah Playboy.Halaman tengah lagi!”jawab gadis itu langsung tepat sasaran.

“Kamu memang benar-benar gadis Indonesia”kataku.

“How can you so sure?”gantian dia yang menggodaku.

“Karena dari semua wanita yang ada di sini hanya kamu sendiri yang peduli pada seorang pria yang membaca majalah Playboy.Itu sangat Indonesia”jawabku menirunya.

“Ha..ha…ha…” kami tertawa bersama.Nama gadis itu Lana, begitu ia memperkenalkan diri.Demikian kami berkenalan di toko buku di ruang transit Bandara Kaitak Hongkong.Waktu itu bulan Juli tahun 1997 aku sedang transit di bandara Kaitak dalam perjalanan Jakarta-Osaka.Kebetulan sekali Lana juga sedang dalam perjalanan Jakarta Osaka namun dengan CX yang lain.

“Jangan lupa, watasiwa Lana desuka. See you in Osaka” Ia melambaikan tangan kirinya padaku dan menghilang dalam keheningan lalang orang-orang kelana di bandara Kaitak Hongkong.

***

Bulan Juli di Osaka, malam selalu terlambat datang.Setelah bisa lepas dari kuntitan Naoki Kazama dari Nisho Iwai seharian ini, aku berjalan-jalan di plaza cantik depan Hotel Granvia tempatku menginap.Kereta JR menderu di stasiun belakang hotel.Dari mulut lorong-lorong subway,muncul wajah-wajah berdasi bergegas cepat.

Menyusuri jalan sepi ke arah Ritz Carlton, di sebuah taman kota yang berpendar dalam siraman lampu merkuri, seorang anak remaja bermain skate-board sendirian.Di ujung taman di atasnya bangku beton dingin berembun sepasang kekasih muda terlibat dalam baku cium yang panjang.Ternyata masih ada juga cinta panas itu di sini.

Tiba di sebuah plaza kota sekumpulan musisi bermain orkestra jalanan. Orang-orang lalang berhenti menyaksikan aksi mereka dan bergoyang dalam irama rancak dentuman perkusi, biola, gitar dan saksofon.Anak-anak muda musisi itu berbalut setelan jas hitam lengkap dengan dasi dan bertopi laken ala orang-orang yahudi ortodoks.Aku pun larut dalam gelombang music rancak yang sungguh bukan Jepang ini.

Tiba tiba di samping pemain biola aku menangkap sosok gadis cantik berkulit putih, berambut lurus selewat bahu sedang bergoyang lembut dan bertepuk tangan. Lana. Tak pelak gadis itu Lana. Ketika kuhampiri,Lana sudah memegang biola dan menggeseknya seirama dengan lagu yang sedang dimainkan. Wo..wo..ternyata bisa juga ia main biola .Tidak jadi menyapanya, kutonton Lana bermain biola dengan total , seimpresif Vanesa Mae, violis Sinciapo itu.

Ketika kami beradu pandang, ia bergerak mendekat dengan tatapan mata nakalnya.

“Playboy-san..Nice to see you again”sapanya meningkahi lengkingan biolanya.

“Hallo, Lana...” suaraku tertelan gesekan biolanya yang melengking tinggi dalam dentum perkusi yang menderu.Aku terus tenggelam dalam irama musik yang menggetarkan jiwa dan juga tatap mata Lana yang teramat menggoda.

* * *

“Jadi kita ketemu di sini” katanya sambil menyeka embun keringat di dahinya.Kami berjalan ke sudut yang agak sepi.

“Kebetulan,ya?” kataku.

“Tidak ada yang kebetulan, Playboy-san, semua sudah diatur tinggal kita yang harus peka menyimak pesan apa yang terkandung dalam setiap peristiwa yang kita hadapi”, mimik wajahnya serius waktu mengatakannya.

“The Celestine Prophecy…James Reidfield”kataku.

“Kamu juga membacanya?” tanyanya.

“Untuk sebuah novel yang pernah menggetarkan Amerika Utara,The Celestine Prophecy terlalu sayang untuk dilewatkan”.

“Selain majalah Playboy baca juga yang lainnya ,ya?”Lana tersenyum menyindirku.

“Sebenarnya kubaca apa saja. Dari Bagawad Gita sampai Philip Kotler.Dari Marx sampai Gabriel Marcel.Dari Kho Ping Ho sampai Nietzhe.”

“Nietzhe? The Exintensialist ? Kamu juga baca dia?”

“Ya,Fredericho Nietzhe cukup menggetarkan".

“Fredericho..?

“Ya, memang kenapa?.Fredericho lebih cocok untuknya daripada Freiderich.Seorang yang sangat eksisensialis seperti itu selayaknya menyandang nama yang gagah, lihatlah seperti Ernesto Guevara, eksportir revolusi tersohor yang ditembak mati secara mengenaskan di hutan rawa di pinggiran kota Bogota”

“Ernesto Che Guevara...Kalau ia masih hidup ingin kugesek biola untuknya.Untuk setiap keping sejarah yang dibuatnya entah banyak orang susah atau senang karenanya. Hidupnya sekali sungguh mengesankan” katanya.

"Lana suka kawan Che ini ya? Ingat dia sudah beristri, namanya Revolusi".

Hening sebentar, angin bertautan di pucuk-pucuk pohon cemara.

“Bagaimana kalau…” Lana membuat jeda di katanya.

“Kalau kita mengobrol semalaman sambil memanggang yakiniku di tepi kali Yodo?” sahutku.

“Haik.. oke.ayo!” Ia menggamit tanganku dan menarikku berjalan seolah sudah berabad-abad kami berkenalan.

* * *

Di sebuah resto tradisional di pinggir Kali Yodo yang mengiris lembut kota Osaka dengan liukannya, kami bersimpuh menikmati wangi yakiniku dan semangkok nasi putih.Nasi Jepang yang harum dan sungguh lembut. Sesiang tadi kulihat sawah-sawahnya membentang di sepanjang jalan ke arah Kyoto.Entah ini dipetik di sana atau di tempat lain.Atau jangan-jangan malah diimpor dari Cianjur.

Segelas bir, Chinese tea dan sekaleng sake menemani kami berbincang ke sana ke mari di tengah merambatnya malam melarut.

Lana ternyata seorang arsitek yang sedang menyelesaikan studi magister di Universitas Osaka.Gayung pun bersambut karena aku juga lulusan arsitektur dari sebuah perguruan tinggi di Jogja.

“Jadi siapa master Arsitek yang kamu kagumi?” tanyaku.

“Aku mencintai keselarasan Romo Mangun, terutama tatanan lansekap di Kali Code dan Sendangsono, tapi aku juga mengagumi Piere Luigi Nervi dengan keseimbangannya yang tidak stabil.Michael Grave oke untuk postmonya.Kalau dari Jepang sini, Kenzo Tange cukup menggetarkan di samping tentu saja para arsitek tak dikenal yang secara jenius menggubah massa secara agung, benar dan mempesona dalam guyuran cahaya’.

“Wah. Yang terakhir itu punya Le Corbu. Architecture is the masterly, correct and magnificient play of masses brought together in light’, sahutku.

“Ya, Le Corbuzier. Kamu sendiri suka siapa, Tomi-san?” untuk pertama kalinya ia menyebut namaku, tidak lagi playboy-san.

“Aku suka kamu” jawabku pendek sambil menegak sekaleng sake dan sekilas kulirik matanya. Matanya bening menatapku.

“Apaku yang kamu suka? Kamu belum lihat karyaku” tukasnya.

“Kamu sendiri adalah karya gubahan massa yang agung, benar dan mempesona dalam guyuran cahaya. Kamu memenuhi semua kriteria keindahan menurut Robert Venturi maupun Vitruvius. Kesederhanaan dan kompleksitas, dinamis dan seimbang, kekuatan dan kelembutan. Menatapmu tengah malam begini di pinggir Kali Yodo tak ada lagi keindahan yang kudambakan, Lana” Aku menyandarkan punggungku ke dinding kayu dan menghela nafas seolah sudah kutemukan yang selama ini kucari.

Apakah kamu sekadar menilai seperti Petronius ?tanyanya pelan.

Petronius menilai keindahan begitu saja. Aku mengkontemplasikannya ke kedalaman jiwa. Di sana keindahan dan kecantikan dimurnikan dari asumsi”

“Itu juga yang kamu lakukan di toko buku bandara Kaitak tempo hari? Kontemplasi..?” tanyanya sambil tersenyum dan merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Kepalanya menyandar di bahuku.Jantungku berdegup tak karuan.

“Sudah larut malam, Lana. Aku antar kamu pulang.Biar kucari taksi”.

“Tomi-san menginap di mana?”

“Hotel Granvia”

“Boleh aku ikut menginap di sana malam ini?” Aku tertegun dan menatap wajahnya.Ia juga menatapku sambil mengangkat kedua alisnya.

“Baik, mari kita ke Granvia” kataku sejurus kemudian.Kugandeng tangannya dan kami berjalan mencari taksi untuk pulang ke Hotel Granvia.

***

Sudah lebih sepuluh tahun aku tidak bertemu Lana lagi. Kudengar sehabis kerusuhan Mei 1998, ia pindah dan bermukim di Perancis.Setelah itu tak ada kabar lagi. Aku pun sudah menikah dan tinggal di pinggiran Jakarta dengan dua anak yang menggemaskan.

Sampai suatu saat, waktu malam melarut kutonton televisi berbayar di canel keluarga. Sebuah acara yang menghadirkan seseorang yang mencari seseorang. Di dalam studio teve itu, seorang perempuan berkulit putih cantik berambut panjang selewat bahu, duduk di sana mencari seseorang.

“Namanya Tomi, aku memanggilnya playboy-san karena suatu alasan pribadi.Kami berkenalan di bandara Kaitak Hongkong saat-saat Hongkong akan diserahkan ke China oleh Inggris bulan Juli tahun Sembilan puluh tujuh.Kami bertemu lagi di Osaka, di sebuah malam di atas sebuah plaza ketika aku asyik menggesek biola dalam konserto jalanan.Ia begitu charming malam itu. Kamipun mengobrol di tepi Kali Yodo di sebuah resto semalaman seolah sudah berabad kami berkenalan.Ia seperti belahan jiwaku karena bisa bertaut kataku dengan katanya.

Malam itu kami bermalam di kamar nomor 41 lantai 27 hotel Granvia Osaka tempatnya menginap.Ia begitu memuja kecantikanku, dan malam itu, ia menina bobokanku dengan senandung lirih Killing me softly with her song yang amat lembut dan menyelimutiku dengan selembar kimono, tanpa berusaha mengambil keuntungan dariku.Kurasa ia berhasrat denganku malam itu, tapi seperti katanya,hanya para pemenang yang bisa menindih perasaannya.Ia bisikan ia menyayangiku, tanpa ingin menguasaiku….

Playboy-san, bila kau lihat acara ini, telponlah ke nomor ini..” kata perempuan itu. Lana, bisikku tertahan, sambil kulihat nomor telepon teve yang muncul minta dihubungi.

Sejenak ragu, akhirnya kuraih handponeku dan kuhubungi nomor itu.Agak susah tersambung sebelum sebuah suara memanduku untuk langsung menyapa ke dalam studio.

“Ohaiyo gozaimazu…” sapaku lembut dan langsung diluruskan oleh pembawa acara siaran langsung itu,

“Maaf,Pak, ini sudah malam bukan pagi lagi. Dari siapa di mana?”

“Ohaiyo gozaimazu, sapamu santun dari antara puing-puing kaleng bir, sake dan wangi yakiniku yang masih mengambang di atasnya kali Yodo.Dan kau kabarkan bahwa malam panjang di kota Osaka sudah usai. Dari lantai duapuluh tujuh hotel Granvia Osaka, kusapa kau dalam satu tarikan nafas rindu: sayonara! Esok kita bersua di bandara Kansai, kita lihat apa hujan jadi turun?” ketika kukatakan itu, kulihat Lana terpaku diam di atas sofa.Matanya berkaca-kaca. Beberapa selebriti yang mengitarinya, tak bergeming menungguku melanjutkan kata-kata.

Lana, Ni hao, ma?” kutanyakan kabarnya dalam bahasa mandarin karena kutahu salah satu kakek buyutnya berasal dari Siangkang.

Wo hao, Tomi-san. And how are you? Where are you now? I miss you so much”ia begitu exited, suaranya bergetar.

Tiba-tiba kudengar langkah istriku turun tangga dan menghampiriku. Kumatikan handphone dan kupindahkan chanel teve ke acara gossip selebriti kesukaannya.

Entah kenapa malam ini, istriku merebahkan kepalanya di pangkuanku dan memegang tanganku dengan erat dan ditempelkan lekat-lekat di pipinya seolah takut kehilanganku. Ia tertidur di pangkuanku dengan melewatkan acara gossip artis kesukaannya.

Cikar mei 2009.

mas Tok


2 komentar:

  1. Berat bahasa nya, salut pak...saya suka gaya bahasa nya.

    BalasHapus
  2. Silakan dibaca jawaban Lana ya, Mas Tok

    http://nenyish.multiply.com/journal/item/118/Cerita_Lana_

    BalasHapus